Saturday, October 24, 2015

 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Menjual Adaptif  
Mayer, Caruso dan Salovey (1999) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi adaptive selling, yakni :
a)        Aktivitas manajerial.
Aktivitas manajerial terdiri dari motivasi intrinsik (intrinsic motivation), pengalaman (experience), dan gaya manajemen (management styles).
b)        Personality traits.
Personality traits terdiri dari yakni self-monitoring, androyny, empathy, terbuka (openers), dan locus of control.

Sedangkan dalam penelitian Jerry R. Goolsby, Rosemary R. Lagace and Michael L. Boorom (1992) menunjukkan bahwa self monitoring, androgyny dan intrinsic reward orientation berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap adaptive selling. Hasil penelitian Barton A, Weitz, Harish Sujan dan Mita Sujan (1986) dalam “Knowledge, Motivation and Adaptive Behavior: A Framework for Improving Selling Effectiveness” menunjukkan bahwa penjualan adaptif dipengaruhi oleh pengetahuan tenaga penjualan terhadap tipe konsumen dan strategi penjualan sebagaimana motivasi mereka untuk merubah arah perilaku mereka. Hasil penelitian Rosann L. Spiro and Barton A. Weitz (1990) dalam ”Adaptive Selling : Conceptualization, Measurement and Nomological Validity” menunjukkan adanya hubungan erat atas pelaksanaan konsep penjualan adaptif terhadap kinerja tenaga penjual. Penelitian Kohli et al, 1998, menyatakan bahwa aktifitas penjualan akan lebih efektif bila dilakukan oleh tenaga penjual yang memiliki kompetensi dan pengalaman. Hal ini menempatkan kompetensi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan penjualan adaptif.

Dimensi Dalam Kemampuan Menjual Adaptif


Dalam mengembangkan pengukuran mengenai pelaksanaan aktivitas penjualan adaptif, Spiro dan Weitz (2002) mengusulkan predisposisi dalam enam aspek dilihat dari sudut pandang tenaga penjual, yaitu :
1.      Mengenali bahwa pendekatan penjualan yang berbeda diperlukan untuk situasi penjualan yang berbeda.
2.      Percaya diri terhadap kemampuannya untuk menggunakan teknik pendekatan penjualan yang berbeda untuk situasi tertentu.
2.    Percaya diri terhadap kemampuannya untuk mengubah pendekatan penjualan yang dilakukannya selama interaksi dengan pelanggan.
3.    Memiliki pengetahuan dalam mengenali situasi penjualan yang berbeda dan menetapkan strategi penjualan yang tepat untuk masing-masing situasi tersebut.
4.    Memiliki sekumpulan informasi mengenai situasi penjualan sebagai masukan dalam melakukan penjualan adaptif.
5.    Melakukan aktivitas aktual dengan menerapkan pendekatan penjualan yang berbeda untuk situasi penjualan yang berbeda.
Tiga aspek penjualan adaptif yang pertama berkenaan dengan motivasi tenaga penjual dalam melakukan penjualan adaptif (Spiro dan Weitz, 2002). Pertama, tenaga penjual harus percaya bahwa pelanggan memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda dan juga hasil yang berbeda dalam setiap transaksi penjualan yang mereka lakukan, Tingkat dimana tenaga penjual memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan perubahan secara tepat dalam pendekatan penjualan yang diambil selama berlangsungnya transaksi akan dapat berdampak pada peningkatan penjualan yang terjadi. Kedua, tenaga penjual juga harus mempunyat keyakinan atas kemampuannya untuk menggunakan pendekatan penjualan yang berbeda, maksudnya adalah keyakinan untuk mengenali ketika suatu pendekatan tertentu diperlukan dan pendekatan tersebut ternyata tidak bekerja dengan baik. Ketiga, tenaga penjual harus mempunyai keyakinan untuk melakukan perubahan yang diperlukan apabila pendekatan penjualan yang dilakukan tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Aspek penjualan adaptif yang keempat dan kelima berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan penjualan adaptif secara efektif. Aspek keempat merupakan kemampuan tenaga penjual yang meliputi pengetahuan atas situasi penjualan dengan mengenali kategori situasi yang berbeda untuk selanjutnya menetapkan strategi pendekatan penjualan yang paling tepat untuk masing-masing situasi yang terjadi (Spiro dan Weitz, 2002).

Aspek kelima, meliputi kemampuan dan kecakapan dalam tenaga penjual mengumpulkan informasi atas berbagai kemungkinan situasi penjualan yang terjadi dan menyesuaikan dengan keputusan mengenai pendekatan penjualan yang paling tepat digunakan (Spiro dan Weitz, 2002). Tenaga penjual memiliki kemampuan ini untuk dapat melakukan penjualan adaptif secara efektif dan pengalaman yang positif akan membantu meningkatkan kemampuan dalam melakukan penjualan adaptif. Kemudian, aspek penjualan adaptif keenam berkenaan dengan perilaku aktual dari tenaga penjual untuk menggunakan pendekatan yang berbeda untuk situasi penjualan yang berbeda pula.

Kemampuan Menjual Adaptif


Konsep penjualan adaptif (adaptive selling) merupakan konsep kunci dalam literatur penjualan Spiro dan Weitz (2002) mendefinisikan penjualan adaptif sebagai suatu aktivitas mengubah perilaku penjualan selama ataupun setelah terjadinya interaksi dengan pelanggan, yang dilakukan berdasarkan pada informasi yang diterima mengenai situasi penjualan. Seorang tenaga penjualan dikatakan memiliki tingkat penjualan adaptif yang tinggi apabila dapat menggunakan pendekatan penjualan yang berbeda secara tepat pada saat transaksi dengan pelanggan dan pada saat membuat keputusan selama transaksi penjualan berlangsung untuk situasi penjualan yang berbeda. Sebaliknya, tenaga penjual dikatakan memiliki tingkat penjualan adaptif yang rendah apabila mereka hanya menggunakan teknik pendekatan penjualan dan pengambilan keputusan penjualan yang sama untuk seluruh transaksi penjualan yang dilakukannya dalam bentuk situasi penjualan apapun.

Weitz (1978) dalam Spiro dan Weitz (2002) menitikberatkan penelitian pada kondisi penjualan adaptif dengan mengusulkan bahwa proses penjualan merupakan proses yang terdiri dari kegiatan mengumpulkan informasi mengenai pelanggan yang prospektif, mengembangkan strategi penjualan berdasarkan informasi, menyampaikan pesan untuk mengimplementasikan strategi, mengevaluasi dampak penyampaian pesan dan membuat keputusan yang tepat berdasarkan pada evaluasi tersebut. Dengan demikian, tenaga penjual memiliki peluang dalam mengembangkan mengimplementasikan dan presentasi penjualan untuk masing-masing pelanggan dan membuat keputusan secara cepat dan tepat sebagai respon atas reaksi pelanggan. 

Friday, October 23, 2015

Pengertian Motivasi Ekstrinsik (2)


Berbagai ahli memberikan pernyataan mengenai pengertian motivasi ekstrinsik itu namun terdapat kesamaan yang dapat disimpulkan bahwa motivasi ekstrinsik merupakan dorongan bagi seseorang yang berasal dari lingkungan atau dari luar kepribadian orang tersebut. Beberapa ahli yang memberikan pengertian mengenai motivasi ekstrinsik, misalkan adalah Hasibuan, (2005) yang mendefinisikan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja.

Sedangkan Iriani (2008) memberikan pengertian motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu dapat berupa rangsangan, paksaan, kompensasi, maupun status sehingga seseorang melakukan sebuah tindakan atau pekerjaan. Pendapat lain memberikan pengertian motivasi ekstrinsik yang bersumber dari pimpinan. Motivasi ekstrinsik muncul dari adanya "upaya ekstra"  dari bawahan, yaitu upaya yang terinspirasi oleh pemimpin sendiri (Bass & Avolio, 1992). 

Pengukuran Dalam Motivasi Intrinsik


Menurut Herzberg yang dikutip oleh Luthans (2002 ), yang tergolong sebagai faktor motivasional intrinsik antara lain ialah:
1)   Achievement (Keberhasilan)
    Keberhasilan seorang pegawai dapat dilihat dari prestasi yang diraihnya Agar sesorang pegawai dapat berhasil dalam melakasanakan pekerjaannya, maka pemimpin harus mempelajari bawahannya dan pekerjaannya dengan memberikan kesempatan kepadanya agar bawahan dapat berusaha mencapai hasil yang baik. Bila bawahan terlah berhasil mengerjakan pekerjaannya, pemimpin harus menyatakan keberhasilan itu.
2)    Recognition (pengakuan/penghargaan)
    Sebagai lanjutan dari keberhasilan pelaksanaan, pimpinan harus memberi pernyataan pengakuan trhadap keberhasilan bawahan dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu:
a.    Langsung menyatakan keberhasilan di tempat pekerjaannya, lebih baik dilakukan sewaktu ada orang lain
b.    Surat penghargaan
c.    Memberi hadiah berupa uang tunai
d.   Memberikan medali, surat penghargaan dan hadiah uang tunai
e.    Memberikan kenaikan gaji promosi
3)   Work it self (Pekerjaan itu sendiri)
    Pimpinan membuat uasaha-usaha ril dan meyakinkan, sehingga bawahan mengerti akan pentingnya pekerjaan yang dilakukannya dan usaha berusaha menghindar dari kebosanan dalam pekerjaan bawahan serta mengusahakan agar setiap bawahan sudah tepat dalam pekerjaannya.
4)   Responsibility (Tanggung jawab)
    Agar tanggung jawab benar menjadi faktor motivator bagi bawahan, pimpinan harus menghindari supervise yang ketat, dengan membiarkan bawahan bekerja sendiri sepanjang pekerjaan itu memungkinkan dan menerapkan prinsip partisipasi. Diterapkannya prinsip partisispasi membuat bawahan sepenuhnya merencanakan dan melaksanakan pekerjaannya.
5)   Advencement (Pengembangan)
    Pengembangan merupakan salah satu faktor motivator bagi bawahan. Faktor pengembangan ini benar-benar berfungsi sebagai motivator, maka pemimpin dapat memulainya dengan melatih bawahannya untuk pekerjaan yang lebih bertanggung jawab. Bila ini sudah dilakukan selanjutnya pemimpin member rekomendasi tentang bawahan yang siap untuk pengembangan, untuk menaikkan pangkatnya, dikirim mengikuti pendidikan dan pelatihan lanjutan.
 Berdasarkan penelitian Ika Agustina (2010) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi motivasi ekstrinsik adalah terdiri dari faktor-faktor tanggung jawab, pengakuan, dan pengembangan yang diuraikan sebagai berikut;
a.    Tanggung jawab
    Pemberian tanggung jawab kepada setiap pegawai harus diikuti dengan pemberian wewenang terhadap pelaksanaan tugas masing-masing. Indikator-indikator untuk mengukur variabel ini adalah :
1)        Tingkat keberhasilan yang dicapai oleh setiap pegawai, baik tentang ketepatan waktu atau kualitas produk yang dihasilkan.
2)        Upaya yang dilakukan setiap pegawai untuk mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan pekerjaan yang dihadapi.
b.   Pengakuan
    Pengakuan atas keberhasilan pelaksanaan tugas atau prestasi yang dicapai setiap pegawai oleh pimpinan dapat menciptakan kegairahan kerja. Indikator-indikator untuk mengukur pengakuan :
1)        Tanggapan pimpinan terhadap keberhasilan tugas secara lisan.
2)        Pemberian tugas dengan tanggung jawab yang lebih sebagai wujud dari penghargaan kepada pegawai yang berprestasi.
3)        Tindak lanjut dari organisasi atas pemberian penghargaan sehubungan dengan status.
c.     Pengembangan
    Setiap pegawai yang telah memiiki masa kerja dan kemampuan yang cukup harus diberikan tugas dan tanggung jawab yang lebih besar. Pegawai harus diberikan harapan atau kesempatan untuk mengembangkan karirnya. Indikator untuk mengukur variabel ini antara lain :
1)   Kemampuan melaksanakan pekerjaan yang semakin meningkat dan bervariasi.
Tingkat kemampuan pegawai untuk mengikuti latihan dan pendidikan guna peningkatan karir. 

Pengertian Motivasi Intrinsik


Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti “dorongan atau daya penggerak”. Motivasi ini hanya diberikan kepada manusia, khususnya kepada para bawahan atau pengikut  (Hasibuan 2003). Motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap individu karyawan mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi. Motivasi adalah keinginan yang terdapat pada seorang individu yang merangsang untuk melakukan tindakan (Winardi, 2000 : 312). Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa motivasi adalah suatu keahlian, dalam mengarahkan pegawai dan organisasi agar mau bekerja secara berhasil, sehingga keinginan para pegawai dan tujuan organisasi sekaligus tercapai (Flippo, 2002).
Menurut Nawawi (2003) motivasi Intrinsik merupakan dorongan dari dalam diri individu. Dipelajari melalui teori proses (Process Theory) yang banyak membahas tentang motivasi internal individu sedangkan motivasi ekstrinsik muncul karena dorongan faktor eksternal. Dipelajari melalui teori isi (Content Theory) yang membahas faktor eksternal individu.

As’ad (2003) menyatakan bahwa Motivasi Intrinsik adalah Suatu aktivitas tanpa mengharapkan imbalan kecuali aktivitas itu sendiri. Motivasi intrinsik adalah konteks karyawan sebagai acuan untuk menggambarkan usaha karyawan dalam mengisi kebutuhan untuk berkembang seperti prestasi, kompetensi dan aktualisasi diri. 

Pengukuran Gaya Kepemimpinan


Secara umum maka pelaksanaan gaya kepemimpinan tersebut sangat dipengaruhi kondisi organisasi itu sendiri. Dalam pelaksanaan gaya kepemimpinan merupakan gabungan dari berbagai gaya kepemimpinan yang telah ada. Oleh karenanya dalam uraian bentuk pelaksanaan kepemimpinan merupakan uraian yang memberikan gambaran mengenai bentuk-bentuk pelaksanaan gaya kepemimpinan lainnya. Bentuk-bentuk pelaksanaan gaya kepemimpinan tersebut dapat dilaksanakan secara bersamaan. Ada empat respon kepemimpinan dalam mengelola kinerja berdasarkan tingkat kematangan karyawan, yaitu mengarahkan, menjual, menggalang partisipasi dan mendelegasikan. Selanjutnya menurut Harsey dan Blanchard (2005) merumuskan ada 4 perilaku dasar kepemimpinan, yaitu:
a.         Mengarahkan (telling)
Gaya kepemimpinan yang mengarahkan, merupakan respon kepemimpinan yang perlu dilakukan oleh manajer pada kondisi karyawan lemah dalam kemampuan, minat dan komitmenya. Sementara itu, organisasi menghendaki penyelesaian tugas-tugas yang tinggi. Dalam situasi seperti ini Hersey and Blancard menyarankan agar manajer memainkan peran directive yang tinggi, memberi saran bagaimana menyelesaikan tugas-tugas itu, tanpa mengurangi intensitas hubungan sosial dan komunikasi antara pimpinan dan bawahan.
b.         Menjual (selling)
Pada kondisi karyawan menghadapi kesulitan menyelesaikan tugas-tugas, takut untuk mencoba melakukannya, manajer juga harus memproporsikan struktur tugas dengan tanggungjawab karyawan. Selain itu, manajer harus menemukan hal-hal yang menyebabkan karyawan tidak termotivasi, serta masalah-masalah yang dihadapi karyawan.
Pada kondisi karyawan sudah mulai mampu mengerjakan tugas-tugas dengan lebih baik, akan memicu perasaan timbulnya over confident. Kondisi ini, memungkinkan karyawan menghadapi permasalahan baru yang muncul. Masalah-masalah baru yang muncul tersebut, seringkali menjadikannya putus asa. Oleh karena itu, setelah memberikan pengarahan, manajer harus memerankan gaya menjual yaitu ketika si pemimpin harus mampu mengajukan beberapa alternatif pemecahan masalah.
c.         Menggalang partisipasi (participation)
Gaya kepemimpinan partisipasi adalah respon manajer yang harus diperankan ketika tingkat kemampuan karyawan akan tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab, karena ketidakmauan atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tangung jawab seringkali disebabkan karena kurang keyakinan. Respon tersebut berupa upaya pemimpin untuk mendorong dan memudahkan partisipasi oleh orang lain dalam membuat keputusan-keputusan yang tidak dibuat oleh pemimpin itu sendiri. Gaya kepemimpinan partisipatif adalah seorang pemimpin yang mengikutsertakan bawahan dalam pengambilan keputusan (Yukl, 1998). Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendegarkan mendukung usaha-usaha yang dilakukan para bawahan atau pengikutnya.
d.        Mendelegasikan (delegating)
Pada unsure gaya kepemimpinan situasional delegasi ini maka pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap karyawan sudah mampu dan mau melaksanakan tugas/tanggung jawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan sendiri dan memutuskannya tentang bagaimana, kapan dan dimana pekerjaan mereka harus dilaksanakan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah.

Berdasarkan uraian tersebut maka bentuk pelaksanaan gaya kepemimpinan adalah gaya pemimpin yang mampu menerapkan gayanya agar sesuai dengan situasi tertentu. Selanjutnya pimpinan perlu mempertimbangkan setiap situasi khusus dalam rangka memahami gaya mana yang lebih tepat untuk diterapkan. Dalam penelitian ini akan menggunakan empat perilaku dasar dalam gaya kepemimpinan situasional di atas yaitu uraian dimensi kepemimpinan berdasarkan Harsey dan Blanchard (2005).