Saturday, October 24, 2015

 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Menjual Adaptif  
Mayer, Caruso dan Salovey (1999) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi adaptive selling, yakni :
a)        Aktivitas manajerial.
Aktivitas manajerial terdiri dari motivasi intrinsik (intrinsic motivation), pengalaman (experience), dan gaya manajemen (management styles).
b)        Personality traits.
Personality traits terdiri dari yakni self-monitoring, androyny, empathy, terbuka (openers), dan locus of control.

Sedangkan dalam penelitian Jerry R. Goolsby, Rosemary R. Lagace and Michael L. Boorom (1992) menunjukkan bahwa self monitoring, androgyny dan intrinsic reward orientation berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap adaptive selling. Hasil penelitian Barton A, Weitz, Harish Sujan dan Mita Sujan (1986) dalam “Knowledge, Motivation and Adaptive Behavior: A Framework for Improving Selling Effectiveness” menunjukkan bahwa penjualan adaptif dipengaruhi oleh pengetahuan tenaga penjualan terhadap tipe konsumen dan strategi penjualan sebagaimana motivasi mereka untuk merubah arah perilaku mereka. Hasil penelitian Rosann L. Spiro and Barton A. Weitz (1990) dalam ”Adaptive Selling : Conceptualization, Measurement and Nomological Validity” menunjukkan adanya hubungan erat atas pelaksanaan konsep penjualan adaptif terhadap kinerja tenaga penjual. Penelitian Kohli et al, 1998, menyatakan bahwa aktifitas penjualan akan lebih efektif bila dilakukan oleh tenaga penjual yang memiliki kompetensi dan pengalaman. Hal ini menempatkan kompetensi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan penjualan adaptif.

Dimensi Dalam Kemampuan Menjual Adaptif


Dalam mengembangkan pengukuran mengenai pelaksanaan aktivitas penjualan adaptif, Spiro dan Weitz (2002) mengusulkan predisposisi dalam enam aspek dilihat dari sudut pandang tenaga penjual, yaitu :
1.      Mengenali bahwa pendekatan penjualan yang berbeda diperlukan untuk situasi penjualan yang berbeda.
2.      Percaya diri terhadap kemampuannya untuk menggunakan teknik pendekatan penjualan yang berbeda untuk situasi tertentu.
2.    Percaya diri terhadap kemampuannya untuk mengubah pendekatan penjualan yang dilakukannya selama interaksi dengan pelanggan.
3.    Memiliki pengetahuan dalam mengenali situasi penjualan yang berbeda dan menetapkan strategi penjualan yang tepat untuk masing-masing situasi tersebut.
4.    Memiliki sekumpulan informasi mengenai situasi penjualan sebagai masukan dalam melakukan penjualan adaptif.
5.    Melakukan aktivitas aktual dengan menerapkan pendekatan penjualan yang berbeda untuk situasi penjualan yang berbeda.
Tiga aspek penjualan adaptif yang pertama berkenaan dengan motivasi tenaga penjual dalam melakukan penjualan adaptif (Spiro dan Weitz, 2002). Pertama, tenaga penjual harus percaya bahwa pelanggan memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda dan juga hasil yang berbeda dalam setiap transaksi penjualan yang mereka lakukan, Tingkat dimana tenaga penjual memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan perubahan secara tepat dalam pendekatan penjualan yang diambil selama berlangsungnya transaksi akan dapat berdampak pada peningkatan penjualan yang terjadi. Kedua, tenaga penjual juga harus mempunyat keyakinan atas kemampuannya untuk menggunakan pendekatan penjualan yang berbeda, maksudnya adalah keyakinan untuk mengenali ketika suatu pendekatan tertentu diperlukan dan pendekatan tersebut ternyata tidak bekerja dengan baik. Ketiga, tenaga penjual harus mempunyai keyakinan untuk melakukan perubahan yang diperlukan apabila pendekatan penjualan yang dilakukan tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Aspek penjualan adaptif yang keempat dan kelima berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan penjualan adaptif secara efektif. Aspek keempat merupakan kemampuan tenaga penjual yang meliputi pengetahuan atas situasi penjualan dengan mengenali kategori situasi yang berbeda untuk selanjutnya menetapkan strategi pendekatan penjualan yang paling tepat untuk masing-masing situasi yang terjadi (Spiro dan Weitz, 2002).

Aspek kelima, meliputi kemampuan dan kecakapan dalam tenaga penjual mengumpulkan informasi atas berbagai kemungkinan situasi penjualan yang terjadi dan menyesuaikan dengan keputusan mengenai pendekatan penjualan yang paling tepat digunakan (Spiro dan Weitz, 2002). Tenaga penjual memiliki kemampuan ini untuk dapat melakukan penjualan adaptif secara efektif dan pengalaman yang positif akan membantu meningkatkan kemampuan dalam melakukan penjualan adaptif. Kemudian, aspek penjualan adaptif keenam berkenaan dengan perilaku aktual dari tenaga penjual untuk menggunakan pendekatan yang berbeda untuk situasi penjualan yang berbeda pula.

Kemampuan Menjual Adaptif


Konsep penjualan adaptif (adaptive selling) merupakan konsep kunci dalam literatur penjualan Spiro dan Weitz (2002) mendefinisikan penjualan adaptif sebagai suatu aktivitas mengubah perilaku penjualan selama ataupun setelah terjadinya interaksi dengan pelanggan, yang dilakukan berdasarkan pada informasi yang diterima mengenai situasi penjualan. Seorang tenaga penjualan dikatakan memiliki tingkat penjualan adaptif yang tinggi apabila dapat menggunakan pendekatan penjualan yang berbeda secara tepat pada saat transaksi dengan pelanggan dan pada saat membuat keputusan selama transaksi penjualan berlangsung untuk situasi penjualan yang berbeda. Sebaliknya, tenaga penjual dikatakan memiliki tingkat penjualan adaptif yang rendah apabila mereka hanya menggunakan teknik pendekatan penjualan dan pengambilan keputusan penjualan yang sama untuk seluruh transaksi penjualan yang dilakukannya dalam bentuk situasi penjualan apapun.

Weitz (1978) dalam Spiro dan Weitz (2002) menitikberatkan penelitian pada kondisi penjualan adaptif dengan mengusulkan bahwa proses penjualan merupakan proses yang terdiri dari kegiatan mengumpulkan informasi mengenai pelanggan yang prospektif, mengembangkan strategi penjualan berdasarkan informasi, menyampaikan pesan untuk mengimplementasikan strategi, mengevaluasi dampak penyampaian pesan dan membuat keputusan yang tepat berdasarkan pada evaluasi tersebut. Dengan demikian, tenaga penjual memiliki peluang dalam mengembangkan mengimplementasikan dan presentasi penjualan untuk masing-masing pelanggan dan membuat keputusan secara cepat dan tepat sebagai respon atas reaksi pelanggan. 

Friday, October 23, 2015

Pengertian Motivasi Ekstrinsik (2)


Berbagai ahli memberikan pernyataan mengenai pengertian motivasi ekstrinsik itu namun terdapat kesamaan yang dapat disimpulkan bahwa motivasi ekstrinsik merupakan dorongan bagi seseorang yang berasal dari lingkungan atau dari luar kepribadian orang tersebut. Beberapa ahli yang memberikan pengertian mengenai motivasi ekstrinsik, misalkan adalah Hasibuan, (2005) yang mendefinisikan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja.

Sedangkan Iriani (2008) memberikan pengertian motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu dapat berupa rangsangan, paksaan, kompensasi, maupun status sehingga seseorang melakukan sebuah tindakan atau pekerjaan. Pendapat lain memberikan pengertian motivasi ekstrinsik yang bersumber dari pimpinan. Motivasi ekstrinsik muncul dari adanya "upaya ekstra"  dari bawahan, yaitu upaya yang terinspirasi oleh pemimpin sendiri (Bass & Avolio, 1992). 

Pengukuran Dalam Motivasi Intrinsik


Menurut Herzberg yang dikutip oleh Luthans (2002 ), yang tergolong sebagai faktor motivasional intrinsik antara lain ialah:
1)   Achievement (Keberhasilan)
    Keberhasilan seorang pegawai dapat dilihat dari prestasi yang diraihnya Agar sesorang pegawai dapat berhasil dalam melakasanakan pekerjaannya, maka pemimpin harus mempelajari bawahannya dan pekerjaannya dengan memberikan kesempatan kepadanya agar bawahan dapat berusaha mencapai hasil yang baik. Bila bawahan terlah berhasil mengerjakan pekerjaannya, pemimpin harus menyatakan keberhasilan itu.
2)    Recognition (pengakuan/penghargaan)
    Sebagai lanjutan dari keberhasilan pelaksanaan, pimpinan harus memberi pernyataan pengakuan trhadap keberhasilan bawahan dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu:
a.    Langsung menyatakan keberhasilan di tempat pekerjaannya, lebih baik dilakukan sewaktu ada orang lain
b.    Surat penghargaan
c.    Memberi hadiah berupa uang tunai
d.   Memberikan medali, surat penghargaan dan hadiah uang tunai
e.    Memberikan kenaikan gaji promosi
3)   Work it self (Pekerjaan itu sendiri)
    Pimpinan membuat uasaha-usaha ril dan meyakinkan, sehingga bawahan mengerti akan pentingnya pekerjaan yang dilakukannya dan usaha berusaha menghindar dari kebosanan dalam pekerjaan bawahan serta mengusahakan agar setiap bawahan sudah tepat dalam pekerjaannya.
4)   Responsibility (Tanggung jawab)
    Agar tanggung jawab benar menjadi faktor motivator bagi bawahan, pimpinan harus menghindari supervise yang ketat, dengan membiarkan bawahan bekerja sendiri sepanjang pekerjaan itu memungkinkan dan menerapkan prinsip partisipasi. Diterapkannya prinsip partisispasi membuat bawahan sepenuhnya merencanakan dan melaksanakan pekerjaannya.
5)   Advencement (Pengembangan)
    Pengembangan merupakan salah satu faktor motivator bagi bawahan. Faktor pengembangan ini benar-benar berfungsi sebagai motivator, maka pemimpin dapat memulainya dengan melatih bawahannya untuk pekerjaan yang lebih bertanggung jawab. Bila ini sudah dilakukan selanjutnya pemimpin member rekomendasi tentang bawahan yang siap untuk pengembangan, untuk menaikkan pangkatnya, dikirim mengikuti pendidikan dan pelatihan lanjutan.
 Berdasarkan penelitian Ika Agustina (2010) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi motivasi ekstrinsik adalah terdiri dari faktor-faktor tanggung jawab, pengakuan, dan pengembangan yang diuraikan sebagai berikut;
a.    Tanggung jawab
    Pemberian tanggung jawab kepada setiap pegawai harus diikuti dengan pemberian wewenang terhadap pelaksanaan tugas masing-masing. Indikator-indikator untuk mengukur variabel ini adalah :
1)        Tingkat keberhasilan yang dicapai oleh setiap pegawai, baik tentang ketepatan waktu atau kualitas produk yang dihasilkan.
2)        Upaya yang dilakukan setiap pegawai untuk mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan pekerjaan yang dihadapi.
b.   Pengakuan
    Pengakuan atas keberhasilan pelaksanaan tugas atau prestasi yang dicapai setiap pegawai oleh pimpinan dapat menciptakan kegairahan kerja. Indikator-indikator untuk mengukur pengakuan :
1)        Tanggapan pimpinan terhadap keberhasilan tugas secara lisan.
2)        Pemberian tugas dengan tanggung jawab yang lebih sebagai wujud dari penghargaan kepada pegawai yang berprestasi.
3)        Tindak lanjut dari organisasi atas pemberian penghargaan sehubungan dengan status.
c.     Pengembangan
    Setiap pegawai yang telah memiiki masa kerja dan kemampuan yang cukup harus diberikan tugas dan tanggung jawab yang lebih besar. Pegawai harus diberikan harapan atau kesempatan untuk mengembangkan karirnya. Indikator untuk mengukur variabel ini antara lain :
1)   Kemampuan melaksanakan pekerjaan yang semakin meningkat dan bervariasi.
Tingkat kemampuan pegawai untuk mengikuti latihan dan pendidikan guna peningkatan karir. 

Pengertian Motivasi Intrinsik


Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti “dorongan atau daya penggerak”. Motivasi ini hanya diberikan kepada manusia, khususnya kepada para bawahan atau pengikut  (Hasibuan 2003). Motivasi penting karena dengan motivasi ini diharapkan setiap individu karyawan mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi. Motivasi adalah keinginan yang terdapat pada seorang individu yang merangsang untuk melakukan tindakan (Winardi, 2000 : 312). Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa motivasi adalah suatu keahlian, dalam mengarahkan pegawai dan organisasi agar mau bekerja secara berhasil, sehingga keinginan para pegawai dan tujuan organisasi sekaligus tercapai (Flippo, 2002).
Menurut Nawawi (2003) motivasi Intrinsik merupakan dorongan dari dalam diri individu. Dipelajari melalui teori proses (Process Theory) yang banyak membahas tentang motivasi internal individu sedangkan motivasi ekstrinsik muncul karena dorongan faktor eksternal. Dipelajari melalui teori isi (Content Theory) yang membahas faktor eksternal individu.

As’ad (2003) menyatakan bahwa Motivasi Intrinsik adalah Suatu aktivitas tanpa mengharapkan imbalan kecuali aktivitas itu sendiri. Motivasi intrinsik adalah konteks karyawan sebagai acuan untuk menggambarkan usaha karyawan dalam mengisi kebutuhan untuk berkembang seperti prestasi, kompetensi dan aktualisasi diri. 

Pengukuran Gaya Kepemimpinan


Secara umum maka pelaksanaan gaya kepemimpinan tersebut sangat dipengaruhi kondisi organisasi itu sendiri. Dalam pelaksanaan gaya kepemimpinan merupakan gabungan dari berbagai gaya kepemimpinan yang telah ada. Oleh karenanya dalam uraian bentuk pelaksanaan kepemimpinan merupakan uraian yang memberikan gambaran mengenai bentuk-bentuk pelaksanaan gaya kepemimpinan lainnya. Bentuk-bentuk pelaksanaan gaya kepemimpinan tersebut dapat dilaksanakan secara bersamaan. Ada empat respon kepemimpinan dalam mengelola kinerja berdasarkan tingkat kematangan karyawan, yaitu mengarahkan, menjual, menggalang partisipasi dan mendelegasikan. Selanjutnya menurut Harsey dan Blanchard (2005) merumuskan ada 4 perilaku dasar kepemimpinan, yaitu:
a.         Mengarahkan (telling)
Gaya kepemimpinan yang mengarahkan, merupakan respon kepemimpinan yang perlu dilakukan oleh manajer pada kondisi karyawan lemah dalam kemampuan, minat dan komitmenya. Sementara itu, organisasi menghendaki penyelesaian tugas-tugas yang tinggi. Dalam situasi seperti ini Hersey and Blancard menyarankan agar manajer memainkan peran directive yang tinggi, memberi saran bagaimana menyelesaikan tugas-tugas itu, tanpa mengurangi intensitas hubungan sosial dan komunikasi antara pimpinan dan bawahan.
b.         Menjual (selling)
Pada kondisi karyawan menghadapi kesulitan menyelesaikan tugas-tugas, takut untuk mencoba melakukannya, manajer juga harus memproporsikan struktur tugas dengan tanggungjawab karyawan. Selain itu, manajer harus menemukan hal-hal yang menyebabkan karyawan tidak termotivasi, serta masalah-masalah yang dihadapi karyawan.
Pada kondisi karyawan sudah mulai mampu mengerjakan tugas-tugas dengan lebih baik, akan memicu perasaan timbulnya over confident. Kondisi ini, memungkinkan karyawan menghadapi permasalahan baru yang muncul. Masalah-masalah baru yang muncul tersebut, seringkali menjadikannya putus asa. Oleh karena itu, setelah memberikan pengarahan, manajer harus memerankan gaya menjual yaitu ketika si pemimpin harus mampu mengajukan beberapa alternatif pemecahan masalah.
c.         Menggalang partisipasi (participation)
Gaya kepemimpinan partisipasi adalah respon manajer yang harus diperankan ketika tingkat kemampuan karyawan akan tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab, karena ketidakmauan atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tangung jawab seringkali disebabkan karena kurang keyakinan. Respon tersebut berupa upaya pemimpin untuk mendorong dan memudahkan partisipasi oleh orang lain dalam membuat keputusan-keputusan yang tidak dibuat oleh pemimpin itu sendiri. Gaya kepemimpinan partisipatif adalah seorang pemimpin yang mengikutsertakan bawahan dalam pengambilan keputusan (Yukl, 1998). Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendegarkan mendukung usaha-usaha yang dilakukan para bawahan atau pengikutnya.
d.        Mendelegasikan (delegating)
Pada unsure gaya kepemimpinan situasional delegasi ini maka pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap karyawan sudah mampu dan mau melaksanakan tugas/tanggung jawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan sendiri dan memutuskannya tentang bagaimana, kapan dan dimana pekerjaan mereka harus dilaksanakan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah.

Berdasarkan uraian tersebut maka bentuk pelaksanaan gaya kepemimpinan adalah gaya pemimpin yang mampu menerapkan gayanya agar sesuai dengan situasi tertentu. Selanjutnya pimpinan perlu mempertimbangkan setiap situasi khusus dalam rangka memahami gaya mana yang lebih tepat untuk diterapkan. Dalam penelitian ini akan menggunakan empat perilaku dasar dalam gaya kepemimpinan situasional di atas yaitu uraian dimensi kepemimpinan berdasarkan Harsey dan Blanchard (2005). 

Pengertian Gaya Kepemimpinan


Kepemimpinan merupakan tulang punggung pengembangan organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit mencapai tujuan organisasi. Jika seorang pemimpin berusaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain, maka orang tersebut perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan adalah bagaimana seorang pemimpin melaksanakan fungsi kepemimpinannya dan bagaimana ia dilihat oleh mereka yang berusaha dipimpinnya atau mereka yang mungkin sedang mengamati dari luar (Robert, 2002).
James et. al. (2006) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Gaya kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah, ketrampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya (Tampubolon, 2007).


Berdasarkan definisi gaya kepemimpinan diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dalam mengarahkan, mempengaruhi, mendorong dan mengendalikan orang lain atau bawahan untuk bisa melakukan sesuatu pekerjaan atas kesadarannya dan sukarela dalam mencapai suatu tujuan tertentu.

Pengukuran Kepuasan Kerja


Sedangkan didalam lingkungan kerja ada 2 sisi yang mempengaruhi kepuasan kerja tersebut (Timmreck, 2001) :
1.    Hubungan personal individu terhadap lingkungan kerja
Pekerjaan yang menjadi tanggung jawab keseharian adalah mungkin pekerjaan mudah dan menyenangkan namun apabila karyawan tidak mendapatkan perlakuan yang menyenangkan maka akan muncul ketidakpuasan tetapi sebaliknya walaupun pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang berat dan membosankan namun bila karyawan diperlakukan dengan baik maka akan timbul kepuasan kerja pada karyawan.
2.    Pekerjaan itu sendiri
Pekerjaan yang dilakukan kadang-kadang dapat menimbulkan kebosanan/stress atau biasa-biasa saja bahkan bisa jadi pekerjaan itu sulit dilakukan dan terlalu menuntut ketahanan fisik sehingga dapat menimbulkan kejenuhan dan kebosanan.
Sementara pengukuran terhadap kepuasan kerja yang dilakukan (Testa, 2008) dalam penelitiannya dibagi menjadi tiga bagian :
a)        Hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan seperti visi dan tujuan, keadilan kebijakan perusahaan, kepedulian perusahaan terhadap karyawan
b)        Hal-hal yang berhubungan dengan atasan seperti usaha atasan dalam memotivasi karyawan, metode yang digunakan dalam mengkritik , cara atasan memberikan contoh dalam melakukan pekerjaan
c)        Hal-hal yang berhubungan dengan fasilitas pada lingkungan kerja .
Menurut pendapat Sherman Bohlander C (1988) menyatakan bahwa kondisi kerja yang kondusif adalah
a)        Pekerjaan yang menantang dan bisa dicapai dengan sukses
b)        Tidak terlalu melelahkan fisik
c)        Percaya diri yang tinggi
d)        Ketertarikan secara personal terhadap pekerjaan
e)        Kondisi kerja yang memenuhi kebutuhan fisik dan memudahkan meraih prestasi sesuai sasaran yang dicapai
f)         Penghargaan bagi kinerja yang sejalan dengan aspirasi

g)        Hal-hal lain dalam pekerjaan yang membantu karyawan mendapatkan nilai (promosi, pekerjaan dan gaji) 

Pengertian Kepuasan Kerja



Kepuasan kerja adalah sebagai konsep praktis yang sangat penting, karena merupakan dampak dari keefektifan performance dan kesuksesan dalam bekerja, sementara kepuasan yang rendah pada organisasi adalah sebagai rangkaian penurunan moral organisasi dan meningkatnya absensi (Mathieu dan Hamel, 2009), sedangkan (Chruden 2008) menyatakan kepuasan kerja merupakan suatu refleksi atas terpenuhinya kebutuhan dan keinginan individu yang didapat dari pekerjaannya. Selanjutnya Davis dan Newton (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja sebagai seperangkat peraturan yang menyangkut tentang perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan berhubungan dengan pekerjaan mereka, Pegawai yang bergabung dalam suatu organisasi akan membawa keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang membentuk harapan kerja ( Meyer dan Tett 2003) sehingga kepuasan kerja menunjukan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul berkaitan dengan pekerjaan yang disediakan sebagai sekumpulan perasaan, kepuasan kerja yang bersifat dinamik

Bentuk-Bentuk Kompensasi


Pendapat para ahli tersebut mengenai bentuk-bentuk kompensasi secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu berdasarkan bentuk kompensasi dan cara pemberiannya. Untuk lebih mendetail maka akan diuraikan sebagai berikut
Mulyadi (2001:419-420) menggolongkan penghargaan ke dalam dua kelompok, yaitu : Penghargaan intrinsik berupa rasa puas diri yang diperoleh seseorang yang telah berhasil menyelesikan pekerjaannya dengan baik dan telah mencapai sasaran tertentu, misalnya dengan penambahan tanggung jawab, pengayaan pekerjaan (job enrichment) dan usaha lain yang meningkatkan harga diri sesorang dan yang mendorong orang untuk menjadi yang terbaik. Penghargaan ekstrinsik terdiri dari kompensasi yang diberikan kepada karyawan baik berupa kompensasi finansial seperti gaji, honorarium dan bonus, penghargaan tidak langsung seperti asuransi kecelakaan, honorarium liburan dan tunjangan masa sakit serta penghargaan nonkeuangan berupa ruang kerja yang memiliki lokasi istimewa, peralatan kantor yang istimewa, tempat parkir khusus, gelar istimewa dan sekretaris pribadi.
Nawawi (2005) secara garis besar membagi kompensasi menjadi tiga jenis, yaitu :
a.         Kompensasi Langsung Penghargaan/ganjaran yang disebut gaji atau upah, yang dibayar secara tetap berdasarkan tenggang waktu yang tetap.
b.        Kompensasi Tidak Langsung Pemberian bagian keuntungan/manfaat bagi para pekerja di luar gaji atau upah tetap, dapat berupa uang atau barang.
c.         Insentif Penghargaan atau ganjaran yang diberikan untuk memotivasi para pekerja agar produktivitas kerjanya tinggi, sifatnya tidak tetap atau sewaktu-waktu..

 Syaifullah (2005:9) membagi kompensasi menjadi dua kelompok besar, yaitu : Kompensasi berdasarkan bentuknya, terdiri atas kompensasi finansial dan kompensasi nonfinansial. Kompensasi berdasarkan cara pemberiannya, terdiri atas kompensasi langsung dan kompensasi tidak langsung. Kompensasi finansial langsung terdiri atas bayaran (pay) yang diperoleh seseorang dalam bentuk gaji, upah, bonus, atau komisi. Sedangkan kompensasi finansial tidak langsung yang merupakan tunjangan, meliputi semua imbalan finansial yang tidak mencakup dalam kompensasi finansial langsung seperti program asuransi tenaga kerja (jamsostek), pertolongan sosial, pembayaran biaya sakit (berobat), cuti dan lain-lain. Kompensasi nonfinansial merupakan imbalan dalam bentuk kepuasan seseorang yang diperoleh dari pekerjaan itu sendiri, atau dari lingkungan baik secara fisik atau psikologis dimana orang tersebut bekerja. Ciri dari kompensasi nonfinansial ini meliputi kepuasan yang didapat dari pelaksanaan tugas-tugas yang bermakna yang berhubungan dengan pekerjaan.

Pengertian Kompensasi


Sastrohadiwiryo (2005) mengemukakan bahwa : Kompensasi adalah imbalan jasa atau balas jasa yang diberikan oleh perusahaan kepada para tenaga kerja, karena tenaga kerja tersebut telah memberikan sumbangan tenaga dan pikiran demi kemajuan perusahaan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut Martoyo (2007) “kompensasi adalah pengaturan keseluruhan pemberian balas jasa bagi employers maupun employees baik yang langsung berupa uang (finansial) maupun yang tidak langsung berupa uang (nonfinansial)”. Menurut Hasibuan (2008:118) “kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan”. 

Dimensi Dalam Etika Birokrat



Dimensi landasan etika yang dapat dijadikan pedoman dalam bertindak,yaitu: (1) kebenaran (truth), yang mempertanyakan esensi dari nilai-nilai moral beserta pembenarannya dalam kehidupan sosial, (2) kebaikan (goodness), yaitu sifat atau karakteristik dari sesuatu yang menimbulkan pujian, (3) keindahan (beauty), yang menyangkut prinsip-prinsip estetika mendasari segala sesuatu yang mencakup penikmatan rasa senang terhadap keindahan, (4) kebebasan (liberty), yaitu keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak berdasarkan pilihan-pilihan yang tersedia bagi seseorang, (5) persamaan (equality), yaitu adanya persamaan antar manusia yang satu dengan yang lain, dan (6) keadilan (justice), yaitu kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya. (Adler, 2004).

Pengertian Etika Birokrat


Etika menurut Bertens  (1977) adalah “seperangkat nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan dari seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan Darwin (1999) mengartikan Etika adalah prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu kesatuan masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam berhubungan dengan individu lain masyarakat. Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi  publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai  baik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan responsiveness.
Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas (Dwiyanto, 2002). Oleh karena itu, etika pelayanan publik harus menunjukkan cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik (Kumorotomo, 2006).

Di Indonesia, etika birokrasi merupakan bagian dari aturan main dalam organisasi birokrasi atau pegawai negeri yang secara struktural telah diatur aturan mainnya, dan dikenal sebagai “Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (PNS)”. Adapun dasar hukum ditetapkannya etika PNS adalah (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, (2) Undangundang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN, (3) Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. (4) Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.

Pengukuran Kepuasan Kerja


Pengukuran kepuasan kerja yang paling populer adalah the Job Descriptive Index (JDI; Smith, Kendall, & Hulin, 1969, 1985). JDI tersebut berisi 72 item yang mengukur kepuasan dengan lima aspek, yaitu pekerjaan, upah, Promosi, Pengawasan, dan Rekan sekerja. Responden membaca kata sifat atau frasa singkat (misalnya, "membosankan," "baik") dan mengevaluasi apakah masing-masing menggambarkan pekerjaan mereka dengan baik dengan menjawab "ya," "tidak," atau "tidak yakin." Ironson et al. (1989) melaporkan bahwa kisaran reliabilities konsistensi internal adalah 0,78-0,88, dan validitas JDI sudah terbentuk dengan baik (Brief, 1998).
Skala pengukuran kepuasan kerja dengan Indeks Deskripsi Jabatan (Job Description Index) dikembangkan oleh Smith, Kendal dan Hulin (dalam Mangkunegara, 1993). Dalam penggunaannya, pegawai ditanya mengenai pekerjaan dan jabatannya yang dirasakan sangat baik dan sangat buruk. Skala sikap ini mengukur lma bidang yaitu mengenai pekerjaan, pengawasan, upah, promosi dan mitra kerja. Setiap pertanyaan yang diajukan harus dijawab oleh pegawai dengan cara menandai jawabannya ya, tidak atau tidak ada jawaban.
Pengukuran lain yang dianggap popular untuk mengukur kepuasan kerja adalah Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ; DJ Weiss et al., 1967). Skala tersedia dalam dua versi yaitu skala panjang (100 item) dan skala pendek (20 item). Ke-20 aspek dari kepuasan kerja yang diukur MSQ tersebut adalah : Aktivitas, Kemandirian, keaneka-ragaman, Status Sosial, Supervisi/Pengawasan (Human Relations), Pengawasan (Teknis), Nilai-nilai Moral, Keamanan, Pelayanan Sosial, Kewenangan, Kemampuan Penggunaan, Kebijakan Perusahaan dan Praktik, kompensasi/upah, Advancement/kenaikan pangkat, Tanggungjawab, kreativitas, Kondisi Kerja, Rekan kerja, Pengakuan, dan Prestasi. Responden membaca setiap item (misalnya, "Perasaan kesanggupan dalam menyelesaikan/ kemahiran yang saya dapatkan dari pekerjaan ini") dan menilai aspek pekerjaan pada skala lima poin : dari 1 ( "Aku tidak puas") sampai 5 ( "Aku sangat puas") . Reliabilitas/keandalan (misalnya, tes-tes ulang rata-rata r = 0,83) dan koefisien validitas telah ditemukan (Dawis, Pinto, Weitzel, & Nezzer, 1974; Dunham, Smith, & Blackburn, 1977).
Skala pengukuran kepuasan kerja dengan kuesioner Minnesota (Minnersota Satisfaction Questionairre) dikembangkan oleh Weiss, Davis dan Englan (dalam Mangkunegara, 1993). Skala ini terdiri dari pekerjaan yang dirasakan sangat tidak puas, tidak puas, netral, memuaskan dan sangat memuaskan. Pegawai diminta untuk memilih satu alternative jawaban yang sesuai dengan kondisi pekerjaannya. MSQ ini memiliki 100 pilihan karena kuesioner ini mengukur kepuasan kerja dengan dua puluh dimensi faktor kepuasan kerja yang masing-masing dimensi mempunyai lima items.

Beberapa peneliti (misalnya, Brief, 1998) lebih menyukai MSQ daripada JDI, karena MSQ dapat mengukur aspek-aspek secara lebih luas. Salah satu contoh dari pengukuran kepuasan kerja secara umum adalah JIG (Ironson et al., 1989). JDI tidak mengukur kepuasan kerja secara umum, tetapi JIG dirancang untuk digunakan dalam hubungannya dengan JDI bila ingin melakukan pengukuran secara umum. Hal ini dirancang supaya dapat menjadi ". . . lebih global, lebih evaluatif, dan lebih memiliki kerangka waktu yang luas "(hal. 195) daripada JDI. Ini berisi 18 item dalam bentuk kata sifat atau frasa singkat (item termasuk "lebih baik daripada kebanyakan," "buang-buang waktu"), dan responden menggunakan pilihan jawaban yang sama seperti pada JDI. Konsistensi internal diperkirakan berkisar antara 0,91-0,95 pada sampel yang berbeda, dan korelasi skala JIG antara 0,66-0,80 jika secara umum dibandingkan dengan skala kepuasan lainnya (Ironson et al., 1989).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja


Teori paling sering digunakan untuk mengkaji mengenai faktor-faktor mendorong munculnya kepuasan kerja adalah teori Hezberg. Dalam teori tersebut membagi beberapa faktor yaitu ekstrinsik dan intrinsic. Penelitian tersebut mengkaji berbagai faktor yaitu (1) prestasi (2) pengakuan (3) tanggung jawab (4) kebijakan perusahaan (5) mutu dari supervise teknis (6) status (7) mutu dari hubungan interpersonal. Dalam teori lain juga diidentifikasi adanya dorongan kepuasan yang dibentuk oleh motivasi, prestasi dan imbalan (Gibson, 1993). Melalui teori ini dapat diidentifikasi bahwa kompensasi sebagai hasil imbalan memiliki pengaruh sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja.
Sedangkan dalam penelitian Evy Yasmin Firdhaus (2010) diketahui bahwa disiplin kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai kantor komite olahraga nasional indonesia (KONI DKI JAYA). Hal ini mengindentifikasi bahwa faktor disiplin juga berpengaruh terhadap munculnya kepuasan kerja.

Dalam penelitian Taufiqurahman (2012) dalam pengaruh budaya kerja dan kepuasan kerja diketahui bahwa etika birokrasi sebagai bagian dari budaya kerja memiliki pengaruh dengan kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan budaya kerja menjadi personifikasi dari kepuasan kerja yang diyakini dapat mendorong dan mempengaruhi semangat kerja pegawai agar dapat bekerja dengan baik dan secara langsung akan mempengaruhi kepuasan pekerja terhadap hasil pekerjaan sendiri.  

Dimensi Dalam Kepuasan Kerja


Luthans (1992) membagi dimensi-dimensi pekerjaan yang berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu imbalan, pekerjaan itu sendiri, promosi, supervisi, kelompok kerja dan kondisi kerja. Gilmer (1984) menyatakan bahwa ada sepuluh dimensi yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja yakni keamanan, kesempatan untuk maju, perusahaan dan manajemen, gaji, aspek intrinsik dari pekerjaan, supervisi, aspek sosial dari pekerjaan, komunikasi, kondisi kerja, dan benefit.
Locke dalam Dunnette (1983) membagi tujuh dimensi kerja yang merupakan pengembangan Locke sebelumnya dan mempunyai kontribusi terhadap kepuasan kerja, yaitu:
a.    Pekerjaan, termasuk minat intrinsik, variasi tugas, kesempatan belajar, kesulitan kerja, jumlah kerja, kesempatan untuk berhasil, kontrol terhadap langkah-langkah pekerjaan dan metode pekerjaan.
b.    Pembayaran, termasuk jumlah pembayaran, keadilan pembayaran, serta cara pembayarannya.
c.    Promosi termasuk keadilan mendapatkan promosi dan kesempatan mendapat promosi.
d.   Pengakuan termasuk penghargaan terhadap prestasi, kepercayaan atas tugas yang diberikan serta kritik atas tugas yang dikerjakan.
e.    Benefit termasuk memperoleh pensiun, mendapat kesehatan, adanya cuti tahunan dan adanya pembayaran pada saat liburan.
f.     Kondisi kerja termasuk jam kerja, jam istirahat, peralatan kerja, temperatur di tempat kerja, ventilasi, kelembaban, lokasi serta tata ruang kerja.
g.    Supervisi termasuk gaya dan pengaruh supervisi, hubungan manusia dan keterampilan administratif.
h.    Rekan kerja termasuk kompetensi, saling membantu, dan keramahan antar rekan kerja.
i.      Perusahaan dan manajemen termasuk kebijakan akan perhatian terhadap pekerja baik untuk pembayaran ataupun benefit-benefit.
Sedangkan Model Theory of Work Adjustment mengukur 20 dimensi yang menjelaskan 20 kebutuhan elemen atau kondisi penguat spesifik yang penting dalam menciptakan kepuasan kerja. Dimensi-dimensi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a.         Ability Utilization adalah pemanfaatan kecakapan yang dimiliki oleh karyawan.
b.        Achievement adalah prestasi yang dicapai selama bekerja.
c.         Activity adalah segala macam bentuk aktivitas yang dilakukan dalam bekerja.
d.        Advancement adalah kemajuan atau perkembangan yang dicapai selama bekerja.
e.         Authority adalah wewenang yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan.
f.         Company Policies and Practices adalah kebijakan yang dilakukan adil bagi karyawan.
g.        Compensation adalah segala macam bentuk kompensasi yang diberikan kepada para karyawan.
h.        Co-workers adalah rekan sekerja yang terlibat langsung dalam pekerjaan.
i.          Creativity adalah kreatifitas yang dapat dilakukan dalam melakukan pekerjaan.
j.          Independence adalah kemandirian yang dimiliki karyawan dalam bekerja.
k.        Moral values adalah nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan dalam melakukan pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa.
l.          Recognition adalah pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan.
m.      Responsibility, tanggung jawab yang diemban dan dimiliki.
n.        Security, rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
o.        Social Service adalah perasaan sosial karyawan terhadap lingkungan kerjanya.
p.        Social Status adalah derajat sosial dan harga diri yang dirasakan akibat dari pekerjaan.
q.        Supervision-Human Relations adalah dukungan yang diberikan oleh badan usaha terhadap pekerjanya.
r.          Supervision-Technical adalah bimbingan dan bantuan teknis yang diberikan atasan kepada karyawan.
s.         Variety adalah variasi yang dapat dilakukan karyawan dalam melakukan pekerjaannya.

t.          Working Conditions, keadaan tempat kerja dimana karyawan melakukan pekerjaannya.